DESIRAN ANGIN YANG LEMBUT, ATAU ASMA’MU?
Tuhan apakah hari ini akan hujan?
Ini adalah hari dimana engkau mengijinkan aku untuk bermujahadah denganMu pada
perjalanan ku yang entah untuk apa dan kenapa harus aku lakukan. Semua yang kan
terjadi didepan aku seakan tahu dan seolah-olah ini adalah kisi-kisi hidup yang
kau berikan. Tapi tetap tak pernah aku anggap sebagai petunjuk yang harus aku
merencanakan akan apa yang harus aku lakukan dan bagaimana aku arus menghadapi.
Kereta
Joglosemarkerto! Gerbong ini begitu asyik untuk memikirkan tentang hidup.
Mungkin karena memang ini di desain guna kenyamanan para pengguna. Bangku
tertata dua berjejer menghadap lokomotif yang menderu menarik rangaian kereta.
Ada yang unik menurutku, ada pijakan kaki disini, yang mana tak akan didapatkan
oleh penumpang ekonomi. Eksekutif! Itu nama gerbong itu.
Ada
strata pada setiap titik simpul kehidupan ini, mungkin ini memang sengaja di
desain karna Engkau ingin selalu memilih. BagiMu, strata ini hanya dikisahkan
dengan siapa yang bertaqwa dan beriman. Tapi tidak dengan makhluk yang kau
ciptakan sebagai Khalifah ini.
Strata
adalah tumpukan orang-orang berkantong tebal yang semakin tinggi ia berpijak
maka akan semakin tinggi pelayanan yang didapatkan. Dulu sampai sekarang
mungkin tidak akan berubah. Bagaimana pahamnya aku melihat para elit berdasi
dan berjas elegan. Bagaimana perasaanku melihat para konglomerat begitu
bahagainya menikmati segala fasilitas yang ada. Serta bagaimana merenungkan
para orang-oarang yang menguasai birokasi pada suatu bidang pekerjaan yang mana
anak mereka sudah siap mewarisi jabatan ayah dan ibunya kelak.
Angin
masih berdesir dingin keluar dari lubang-lubang kecil di atas gerbong ini.
Lampu ditengah gerbong menambah keeleganan ornamen kereta, dengan gagahnya
melekat pada atap. Jika aku perhatikan bisa terlihat begitu
kenyamanan orang-orang. Ya ! tentu dengan gatget mereka masing-masing. Paham
betul bisa ditelisik orang-orang dengan jangkauan “berhasil “ di gerbong ini.
Bagaimana mereka menatap dengan penuh eksistensi, bagaimana mereka
menengadahkan pandangan dengan percaya diri, dan bagaimana mereka dengan
mudahnya tertawa tanpa beban.
Pandangan
tak akan pernah bertahan lama menatap orang-orang dengan sejuta pikiran dan
awang-awang tinggi yang tak aku tahu kemana arah tujuannya. Lebih senang
melihat betapa konsistennya kecepatan kereta yang terukur dari cepatnya rel
kereta terlewat satu bantal demi bantalan. Menatap hijaunya persawahan yang
mulai menguning diujungnya.
Dengan
menyandarkan keningku pada jendela kaca gerbong yang bebetnuk persegi dan
seluas kaca jendela kos di solo saat ahasiswa, aku bisa menerawang jauh hingga
entah harus aku sebut apa. Tarikan nafas dalam hingga ke ulu hati akan
membuatku semaikn tenang dan semakin tenang. Keadaan yang seperti ini selalu
dapat aku nikmati dalam perjalananku. Ada saatnya ketenangan ini membawa-Mu
masuk jauh kerelung hatiku, mematahkan pikiran-pikiran brutal yang merusak sinkronisasi
antara pikir dan nurani.
Jajaran
pegunungan serayu selalu menemani pandangan-pandangan ini beserta jauh
angan-angan yang entah dimana batasnya. Setiap angan-angan itu, selalu satu
yang akan aku tanyakan. “ya Rabb, akan engkau bwa kemana diriku ini?” hening
kemudian dalam otaku tak akan bekerja keras seakan pasrah saja dengan apa yang
akan Engkau berikan. Seandainya setiap waktu aku seperti keadaan ddalam setiap
perjalan ini. Hembusan nafas yang teratur, detak jantung yang tak perlu
berkejar-kejaran seakan sedang berlomba menjadi pemenang. Hati yang seakan
lanyah tanpa perlawanan mengikuti goyangan-gyangan dari gerbong kereta. Serta
pikiranku yang begitu sejuk seakan entah bagaimana aku harus menggambarkan
ketenangan ini.
Sebenarnya,
angin apa ini? kenapa hanya perjalanan yang kini bisa membuatku terpaku pada
Engkau? Perjalanan yang dapat mematahkan pikiran-pikiran bebal yang entah mau
kemana dia berterbangan. Meluluhkan hati yng keras yang tadi pagi aku tak
merasakannya saat bangun tidur.
Pagi
tadi, aku mendiamkan istriku untuk yang kesekian kali. Tak ingin rasanya aku
bicara, jika akhirnya nanti aku hanya akan marah padanya. Bagiku diam adalah
solusi yang terbaik dalam menahan emosi, meski terkadang melepaskan emosi
adalah yang terbaik untuk menuju keharmonisan yang lebih baik. Rumah tangga
tanpa itu layaknya makan nasigoreng yang baru saja aku pesan dari pramusaji
Jogosemarkerto. Hambar!!
Tuhan,
. . desiran angin itu masih terjaga hingga kereta ini menderukan batasnya
hingga kota penuh budaya. Yogyakarta! Berharap itu akan terus berdesir dan
terus berdesir hingga aku kembali lagi esok hari dengan kendaraan yang berbeda.
Komentar
Posting Komentar