APAKAH JADI DIRIMU ITU TAK MENARIK ?
Berdasarkan pengetahuanku tentang
kata, podium adalah panggung. Aku ingin menggambarkan apa yang aku lihat diakhir-akhir
ini. Ingin ku lukis bagaimana pandanganku mengenai fenomena yang terjadi. Mungkin,
bukan aku saja yang berfikiran seperti ini dan masih banyak aku lain bertebaran
disetiap batas-batas region wilayah ini.
Seberapa banyak kamu bertukar
pikiran, adalah seberapa banyak kamu bisa memetakan hal yang ada disekitarmu.
Podium! Aku menggambarkan disana ada sebuah mikrofont berdiri tegak, boleh kamu tambahkan semacam mimbar. Kemudian
dibawah mimbar itu, ada banyak orang-orang yang ingin menggapainya layaknya mereka
ingin berorasi.
Jangan kamu bayangkan mimbar ini
layaknya kontestasi politik dimana Si pemegang mikrofon adalah Si berkuasa. Tidak!
Ini adalah gambaran yang saat ini populis disekitarmu.
Mereka yang berebut memoles diri mereka
dengan balut simbol yang mencolok. Simbol itu sangat dipahami mereka, tapi
mereka lupa apa yang disimbolkan sejatinya. Balutan itu, biasanya berwarna
putih disebut dengan ‘sorban’, kamu bisa saja menyebutnya imamah.
Kadangkala simbol itu bisa berbentuk
kerudung yang lebar, yang mana asal katanya mungkin dari makna hijab. Tak perlu aku defisinisakan apa
itu, aku faham semua sudah tahu dengan simbol-simbol semacam itu.
Mereka berebut podium bukan karena mereka itu makhsum. Ketika mereka berhasil naik
diatas panggung mereka akan menunjukan siap sejati mereka. Sepatah dua patah
apa yang mereka katakan, akan bertentangan dengan realita yang ada. Semua yang
dimuntahkan hanyalah alakadarnya yang akan berujung permohonan maaf dikemudian
harinya.
Guru merekapun mungkin akan diam
saja. Karna kualitasnya tak jauh beda.
Tak penting apa yang akan mereka
sampaikan saat setelah mikrofon itu dipegang. Balutan gamis ataupun balutan
imamah itu, sudah cukup berbicara.
Bahwa aku sudah menjadi
lebih baik.
Aku yang saat ini menonjol
diantara yang lain.
Aku yang sudah pasti
lebih baik dari kamu dan kamu.
Kamu harusnya seperti
aku ini.
Kemudian pekikan seruan Tuhan akan
dimuntahkan layaknya sudah terpendam lama didalam diafragma, dikeluarkan
menjadi dentuman-dentuman frekuensi yang dapat didengar semua makhluk.
Aku tak membenci mereka. Hanya saja,
gambaran itu belum selesai. Bagiku,waktu untuk mencari podium sepertinya sudah
usai. Ada yang menggelitik saat ini, layaknya pertanyaan.
Haruskah????
Pantaskah????
Belakangan,
mengenakan balutan kain yang menempel dikulit membentuk simbol saja, aku merasa
malu. “Eh, ini bukan aku. Bukan gayaku”.
Tapi disaat yang sama aku khawatir,
jangan-jangan sifatku ini hanyalah iri hati kepada mereka yang bisa berdandan
molek dan berada diatas uforia simbol-simbol itu. Atau jangan-jangan, ini
adalah bentuk baru dari diriku agar aku bisa menaiki panggung itu?
Gambaran diriku saat ini ada
dibelakang mereka yang berebut panggung, layaknya seorang veteran yang
menyadari sudah bukan waktunya lagi untuk berperang. Apakah ini delusi? Sepintas memang terfikir seperti
itu.
Jadi, aku hanya tergambar sebagai sosok
yang memandangi dari jauh seraya berjalan menjauh dengan songkok dikepala, kaos hitam dan sarung atau celana hitam berjalan sedikit
membungkuk perlahan menjauh.
Yang ada difikiranku adalah,
sepertinya sudah bukan waktuku ikut ‘gila’ dengan simbol-simbol semacam ini. Namun,
aku juga khawatir, jangan-jangan ini sudah masuk kedalam adagium sama seperti mereka.
“Saya
yang paling benar. Sedang yang lain adalah salah.”
Seraya memalingkan muka, aku
berjalan semakin tertunduk dan melepas kopiah-ku.
Lebih baik aku hinakan diriku, daripada aku merasa lebih dari yang lain. Lebih baik
aku diamkan lidah dan hatiku, daripada aku bergumam menyeru didalam diriku
kalimat sakral semacam ‘hanya akulah yang benar’.
Semakin jauh dan banyak bersimpangan,
kupercepat jalanku, semakin cepat, dan berlari menjauh dari krumunan orang.
Kini, hanya aku yang hilang dari hingar
bingar. Aku yang ada tapi kau tak merasa. Ada atau tidaknya aku kau tak
gelisah. Bagimu semua berjalan normal, tapi disitu sebenarnya aku ada.
Aku sudah melepas segalanya. Apapun yang
ingin kau lihat dari simbol pada diriku, mungkin kau tak akan merasa. Kini aku mencoba
memposisikan diriku bagai orang yang ada, tapi tak ada.
Segala sesuatunya, biarlah berjalan
begini. Kau tak perlu tahu apa yang aku perbuat. Dalam ketenangan ini, aku
tuliskan bait-bait narasi dari dalam lubuk hatiku. Malam yang sunyi belakangan
membuatku sulit untuk memejamkan mata.
20-Apr-2019
Adagium.... "Semakin kau merasa'gila',semakin kau berada dikehidupan yang nyata."
BalasHapusGila bukan berati kehilangan akal saja. Jatuh cinta saja, itu adalah suatu hal yang gila.
BalasHapusSalam narasi