ADA TAPI TIADA


Biasa saja! Semakin waktu berlalu, semakin pula banyak hal yang harus direduksi dan kembali ditata sebagaimana mestinya. Bertafakur merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk mengetahui apa yang baiknya dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan.

Terkadang terngiang akan kalimat “Bermafaat bagi orang lain merupakan konsep dalam hidup”. Namun, semakin berjalannya waktu, usia dan kedewasaan semua berbelok layaknya bahtera yang tertiup angin dilautan, kemudian mengarahkan laju kapal yang tak menentu tanpa seoarang nahkoda.

Semua masih terus berubah dan terus berjalan seakan memilih dimana tempat akan berlabuh.

Aku mengasingkan diriku dari mahligai kehidupan yang rupa-rupa. Fokusku kemudian hanya tertuju pada dua insan yang kemudian selalu ada disampingku. Detik demi detik, kemudian berubah menjadi menit dan terus berjalan hitungan jam, hari, bulan, hingga saat ini sudah lebih dari kata tahun berlalu begitu saja. 25 tahun dan terus berjalan.

Mana mungkin melupakan tahun demi tahun tanpa sebuah lika-liku? Mana mungkin melewati bulan tanpa adanya masalah? Mana mungkin aku membuang waktu hanya dengan sekelumit kerja yang itu-itu saja?

Kembali ku berdzikir satu demi satu, masa demi masa melewati waktu yang telah lalu. Betapa masih teringat bagaimana sendagurau masa-masa aku menonjolkan diri agar tak tertelan dan tertimbun oleh banyaknya macam sosok yang selalu muncul dalam setiap langkah yang aku pijak.

Bukan satu dua kali ku titi jalan dakian agar dapat menonjolkan diriku. Aku, tak pernah merencanakan hal itu. Semua seakan terus berjalan saja apa adanya seakaan menikmati apa saja yang dilalui. Beberapa kali, mungkin pernah kuukir rencana-rencana elok untuk meniti tujuan hidup. Tak aku pungkiri, rencana merupakan bagian dari hidup. Tapi, tak satupun rencana yang dibuat sama dengan apa yang ingin dicapai. Kekhawatiran adalah satu-satunya hal yang kemudian akan tercapai.

Masih dalam dzikir yang panjang, kini merenung tak menentu apa yang ada dalam pikiran dan apa kiranya yang akan datang hendak dititi.

Apakah masih aku harus menonjolkan diriku dan menunjukan “Hey,,,disini ada aku.” Aku yang bisa melakukan apapun, seperti yang dia lakukan. Aku yang mampu berbuat seperti dia yang dia perbuat. Apakah masih harus seperti itu?

Seakan panggung ini sudah terlalu sesak untuk menonjolkan masing-masing apa yang ada pada dirinya. Seperti kataku, kini aku hanya berfokus pada dua insan saja. Hanya pada mereka aku menonjolkan diriku, dan selalu mengatakan ”Hey,,, aku ada untuk kalian.”

Semakin lama berjalan dan mengarungi waktu yang cepat bergerak tanpa henti, dalam dzikir ini aku olah selalu apa sebenarnya yang sedang menjadi pertanyaan dalam hati dan harus dijawab sebagai mana keinginan.
Apakah kamu hati yang iri?
Apakah kamu hati yang menyesal?
Ataukah kamu hati yang memahami apa yang hendaknya kamu lakukan?

Pertanyaan mudah itu mungkin adalah jawaban dari gundah gulana hidup, yang mempengaruhi jiwa yang sudah hancur tak tertata karena jutaan hujaman. Maka yang perlu dilakukan hanyalah sekedar jawaban-jawaban simpel yang membuat dia merasa dininabobokan.

Jiwa yang dewasa, hendaknya memang dapat mengontrol apa yang dikehendaki oleh hati. Tidak kah terbalik?

Tidak bagiku. Jiwa merupakan asal-usul makhluk. Katakan saja bahwa jiwa adalah saudara dari ruh. Ruh itu yang membuatmu hidup tapi jiwa adalah yang mengarahkan hidup. Opiniku terbentuk dari kalimat sakit jiwa. Tak perlu kamu berjalan dijalan tanpa busana kau akan dicap sakit jiwa. Tingkahmu yang merugikan orang lain tanpa kau peduli, orangpun akan mengatimu orang yang sakit jiwa.
            
       Sekarang, hendaknya jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawban yang membuatmu berada pada hati yang lembut. Apakah kaumi iri? Iya. Apakah kamu menyesal? “Iya”. Apakah kamu tahu apa yang akan kamu perbuat ? “Iya”.
      
         Jika memang kamu mengetahui segala permasalahan dalam dirimu, kenapa engkau pertanyakan itu pada Kholiq yang telah memberimu jawaban?

              Kamu merasa iri karena sekarang kamu bukan kamu yang dulu. Mungkin dulu kamu adalah orang yang menonjolkan dirimu, sedang mereka orang yang mendengarmu dari podium. Kamu orang yang didengarkan sedangkan sekarang kamu hanya memandang dari ‘bawah’.

               Jika kamu sudah menentukan posisimu, kenapa harus iri wahai hati yang hina? Kenapa tak kau nikmati peranmu saat ini, dimana kamu hanya orang yang melihat, memandang dan memperhatikan? Bukankah itu sudah kodratnya?
            
          Kemudian kamu katakan menyesal. Apa yang kau sesali? Karena tidak bertahan diatas podium? Tidak menjadi bagian dari menonjolnya dirimu? Atau hanya keserakahanmu itu yang membuatmu ingin selalu di elu-elukan?
         
       Renungkanlah hal yang perlu kau jawab, kemudian kembalilah pada hatimu dan bertanya kembali. Apa yang sebarnya dinginkan olehmu, sebelum kau menjawab dirimu memahami apa yang hendak kau lakukan.

19-Apr-2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGUMUMAN KELULUSAN SMA YA BAKII KESUGIHAN TAHUN PELAJARAN 2022/2023

SEJARAH PEMBENTUKAN BUMI

Mitigasi Bencana Alam (Untuk Kelas XI)